Ya..!! Sobat kembali lagi bersama saya Admin yang TamVan. Saya mempunya cerpen yang berjudul Story Of Love.
Silahkan Dibaca.
Sore ini hujan begitu deras, handphoneku yang semenjak tadi seperti patung, tiba-tiba ada suara dering pesan berbunyi. Aku segera mengambil hanpdhoneku dan ternyata ada satu pesan dari kekasihku. “Sayang maaf ya aku baru ngasih kabar, kamu udah makan?” Saat itu hatiku tenang karena telah ada kabar darinya. Aku sangat kagum padanya dalam keadaan sesibuk itu dia masih menyempatkan untuk memberi kabar padaku, tanpa nunggu lama langsung ku balasan pesan dari kekasihku.
“Iya gak apa-apa kok sayang, makasih ya udah nyempetin buat ngasih kabar, udah kok sayang,”
Tak lama handphoneku berbunyi kembali, “Sesibuk apa pun, aku pasti nyempatin waktu buat ngasih kabar sama kamu sayang, maaf ya aku harus lanjut kerja lagi sayang,”
Dan seperti biasa aku selalu cepat membalas pesan dari kekasihku, “Makasih ya sayang, iya sayang nanti kalau udah beres kabarin aku lagi ya,” ku tunggu terus handphone ini namun tak ada balasan lagi dari dia, mungkin dia udah lanjut kerja lagi, pikirku sambil menekan tombol back menuju menu home.
Kekasihku bernama Rangga. Dia adalah satu-satunyaa pria yang aku sayang, kami sudah menjalin hubungan selama 2 tahun. Pertama kali aku berjumpa dengannya yaitu pada saat aku sedang bermain basket dengan saudaraku di halaman depan rumah kami. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas yang diberikan pak Candra tadi di sekolah. Aku dan Ismi selalu mengerjakan tugas di halaman taman belakang rumah kami. Aku dan Ismi sudah hidup satu rumah dari sejak kami kecil. Ismi adalah keponakan almarhumah ibuku, dia sudah dianggap seperti keluarga kami dan sebagai kakakku sendiri. Sekarang aku dan Ismi hidup berdua di satu rumah. Ayah dan ibuku sudah meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan. Sedangkan ayah dan ibu dari Ismi mereka bercerai ayahnya pergi entah ke mana dan ibunya sudah meninggalkan dia sejak dia kelas 4 SD.
Pada saat itulah dia diangkat oleh orangtuaku sebagai anggota keluarga kami. Aku dan Ismi selalu disebut dua sejoli, awalnya aku heran mengapa kita disebut dua sejoli oleh anak-anak kelas dengan seiring waktu berjalan aku tahu asal-usul sebutan tersebut dan ternyata sebutan itu muncul karena kita sering bersama-sama, di mana pun, kapan pun, dan ke mana pun. Tugas dari pak Candra tak lama dapat kami selesaikan. Setelah tugas selesai, aku dan Ismi langsung bermain basket di lapangan depan rumah kami. Pada saat itu, tanpa sengaja aku melemparkan bola basket tidak tepat sasaran.
Dan bola itu mengenai seorang pria yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku tebal di kursi pinggir lapang. Buku yang dia baca itu entah buku apa namun sepertinya buku novel fiksi, pria itu mengambil bola basketku yang mengenainya lalu meletakkan di sampingnya dan melanjutkan membaca buku yang tertutup yang diganjal oleh jempol di salah satu halaman. Pria itu tidak melirik ke arah kami sedikit pun. Aku langsung menghampiri pria itu untuk mengambil bola basket yang terlempar ke luar sekaligus mengenainya.
“Hai, maaf ya aku gak sengaja, boleh aku ambil bolanya?” Tanyaku pada pria itu, namun pria itu tetap membaca buku yang sedang digenggamnya, aku terus mencoba memanggilnya beberapa kali dan akhirnya dia merespon omonganku.
“Iya kenapa? Maaf aku tadi lagi fokus membaca buku ini.” jawabnya dengan santai disertai tawa kecil.
“Ini bola kamu?” sambil menyodorkan bola basket yang tadi disimpan di sampingnya,”
“Iya itu bola aku, maaf ya tadi aku gak sengaja melempar bola itu sampai kena sama kamu,”
Tiba-tiba Ismi memanggilku, “Ratih ayo cepet ambil bolanya kita main lagi,”
“Iya gak apa-apa, nih ambil,” sambil mendekatkan bola itu ke tanganku, temen kamu udah manggil tuh.
“Makasih ya,” ucapku dengan disertai tawa kecil.
“Iya sama-sama,” jawabnya dengan senyum tipisnya.
Aku pun bermain basket kembali dengan Ismi. Tak terasa waktu sudah larut sore. Kami pun berhenti bermain basket dan segera bersih-bersih. Setelah selesai bersih-bersih kami pun menyiapkan makanan, untuk makan malam kami, dan pada saat kami sedang makan aku tiba-tiba teringat dengan pria sore tadi yang tak sengaja terkena lemparan bola basket olehku.
—
Pagi ini begitu cerah entah mengapa hatiku terasa begitu riang. Aku mengambil tas dan menunggu Ismi yang masih belum selesai sarapan, hal itu sudah tak asing lagi bagiku karena hari ini adalah jadwal dia piket, dan dia selalu berleha-leha jika berada di hari kamis pagi seperti ini. Dan Ismi pun selesai sarapan. Entah mengapa aku sangat begitu bersemangat untuk segera sampai di sekolah. Dan pada saat sampai gerbang sekolah kami berpisah, Ismi melakukan tugas piketnya untuk sebagai satpam cantik di pagi ini, sedangkan aku segera menuju ke kelas, entah apa yang membuatku ingin segera sampai di kelas pagi itu. Aku sampai di kelas dan ternyata.. tak ada satu hal pun yang istimewa di kelas pagi ini, semuanya seperti biasa. Tak lama bel masuk pun berbunyi bersamaan dengan datangnya Ismi ke kelas.
“Akhirnya aku bisa duduk juga Rat, lumayan pegel juga berdiri sekitar setengah jam di pintu gerbang,” ucapnya dengan nada kesal, sambil meletakkan tas yang digendongnya di atas meja. “Hahaha gak apa-apalah anggap upacara,” jawabku dengan santai. Bu Nia pun masuk kelas, dia masuk bersama dengan seorang pria sepertinya dia murid baru. Bu Nia mempersilahkannya untuk memperkenalkan dirinya. “Ayo perkenalkan diri,” suruh Bu Nia, sambil menuju tempat duduknya. Cowok itu maju beberapa langkah lalu melepaskan kupluk jaketnyaa, dan ternyata.. dia adalah cowok yang kemarin tak sengaja terkena bola basket olehku. Rasanya seperti mimpi, tiba-tiba Ismi menyeretkan sikutnya pada lenganku.
“Heh itu kayaknya cowok yang kemaren gak sengaja kena bola sama kamu kan?”
“Iya Mi,”
“Cie jodoh nih kayaknya,” candanya padaku sambil tersenyum tak jelas.
“Ngawur kamu ini,” jawabku dengan disertai tawa.
Namun padahal hatiku pada saat itu menjawab, “Amin semoga dia jodohku,” setelah selesai dia memperkenalkan diri dia dipersilahkan untuk duduk. Dan dia duduk tepat di depanku, hatiku saat itu berdetak semakin kencang kencang.
—
Beberapa hari berlalu aku dan Rangga jarang sekali mengobrol, jika mengobrol pun hanya seperlunya saja, seperti, “Hai, pagi Rat,” atau “PR buat hari ini udah beres?” dan selebihnya tak ke luar dari tema tentang sekolah. Beberapa minggu berlalu kami semakin dekat apalagi karena seringnya mendapat tugas kelompok dan kami selalu satu kelompok. Pertanyaan yang kami lontar pun menjadi lebih berkembang dari sebelumnya. Sore itu aku harus pulang sendiri, karena pada saat itu sepulang sekolah aku harus mengerjakan tugas kelompok di sekolah, sedangkan Ismi mengerjakan tugas kelompoknya di rumah temannya.
Aku berjalan sendirian, saat itu langit cukup mendung, namun aku tetap memaksakan untuk segera pulang, beberapa menit kemudian gerimis pun turun, karena saat itu tak ada tempat untuk meneduh jadi aku terus berjalan, kepalaku terasa begitu dingin karena terkena air hujan yang rintik-rintik itu. Saat aku mengangkat tasku untuk menutupi kepalaku. Tiba-tiba seseorang melepaskan jaketnya, dan menggunakan jaket itu untuk menutupi kepala kami dari hujan, tatapanku langsung tertuju pada seseorang tersebut dan dia ternyata Rangga, aku terkejut sekaligus heran. Tiba-tiba dia menatap balik padaku, dengan senyuman tipis khasnya.
“Kamu kenapa bisa di sini?” tanyaku penuh rasa heran.
“Itu gak penting,” jawabnya dengan santai.
Saat kami berjalan tiba-tiba Rangga membisikkan sepatah kalimat padaku telinga kiriku, dan kalimatnya itu berbunyi, “I love you Ratih,” saat itu aku berpura-pura tidak mendengarnya. “Apa? Aku gak jelas dengernya,” jawabku, sekaligus untuk meyakinkan apa yang ku dengar barusan. Rangga tiba-tiba langusung berjongkok di hadapanku sambil menunjukkan bunga yang dia sembunyikan. Dan dia mengulangi kata yang dia ucapkan.
“I love you Ratih, kamu mau kan jadi pendamping hidupku?”
“Hmm gimana ya?” jawabku sambil mengetuk-ngetuk hidungku seperti khalayaknya seseorang yang sedang berpikir, lalu ku sambung lagi perkataanku barusan.
“Gini deh, aku kasih tantangan, kamu,” Dipotongnya ucapanku olehnya dengan penuh semangat.
“Ayo tantangan apa, aku pasti bisa kok,” jawabnya dengan penuh percaya diri.
“Gendong aku sampe gerbang rumahku, tapi tanpa berhenti gimana?”
“Oke deal, cuman hal kecil,” jawabnya penuh percaya diri disertai tawa kecilnya. Dia pun langsung menggendongku, dan ku pegangi jaketnya untuk melindungi kepala kami dari air hujan.
Kami pun sampai di depan gerbang rumahku.
“Gimana aku bisa kan, jadi kamu mau kan?” ucapnya sambil menurunkanku dari gendongannya.
“Iya kamu berhasil, selamat ya,” jawabku sambil memberikan jaketnya. Rangga pun menyuruhku untuk segera masuk ke rumah. “Ayo silahkan tuan putri untuk segera masuk ke rumah,” candanya disertai tawanya yang manis.
“Baiklah, makasih ya gendongannya,” jawabku sambil membuka pintu gerbang.
“Iya sama-sama, aku pulang ya.”
“Iya hati-hati ya,”
“Sebenarnya, berhasil atau tidak, aku bakal tetep bilang iya,” ujarku saat jalan menuju pintu.
Aku pun masuk ke dalam rumah dan Rangga pun berjalan pulang.
—
Aku dan Rangga sama-sama menyukai permainan bola basket, pernah suatu saat kami bermain bola basket bersama di tempat kesukaannya, tempatnya berada di pinggir sungai. Dia menyukai tempat itu karena di sana ada hamparan rumput hijau yang begitu nyaman untuk berbaring, yang seakan-akan dapat melepaskan rasa lelahnya karena bermain basket. Saat itu sepulang sekolah kami langsung pergi ke sana untuk bermain basket, sore itu aku begitu senang, karena aku bisa bermain hobiku dengan orang yang begitu berarti untukku. Kami bermain tak cukup lama, dan permainan itu dimenangkan oleh Rangga, itu sudah pasti dia yang akan menang, karena dia mempunyai akurasi yang begitu bagus untuk memasukkan bola ke dalam ring.
Setelah kami selesai bermain, kami berbaring di atas hamparan rumput hijau di tepi sungai. Kami menunggu saat-saat matahari terbenam, dan kami menghitung mundur dari hitungan 10 sampai 1. 10, 9, 8,7, tiba-tiba tangannya menggenggam tangan dengan erat. 6, 5, 4, matahari semakin indah menuju saat-saat terbenam, pada saat itu di sana hanya ada kami berdua, hatiku begitu sangat senang, aku merasa dunia ini hanya milik kami berdua, aku ingin sekali bisa bersamanya sampai akhir napasku, sampai mataku tertutup untuk selamanya. 3, 2 sinar matahari semakin indah, dan… 1 matahari pun terbenam. Hatiku begitu senang, tak lama Rangga mengajakku untuk pulang.
“Sayang, yuk kita pulang,”
“Iya,” Kami pun beranjak dari hamparan rumput yang begitu lembut, yang sebagai saksi kisah cinta kami. Rumah kami dari tempat itu tidak terlalu jauh, maka dari itu kami pun pulang berjalan kaki saja.
“Makasih ya sayang buat hari ini,” ucapku pada Rangga sambil lebih mengeratkan genggaman tangannya yang hangat.
“Iya sama-sama sayang,” Senyum manisnya selalu tak lepas setiap kali dia berbicara. Dan senyum manisnya dapat membuat tenang hati seseorang yang melihatnya.
“Kapan-kapan kita main basket lagi ya, aku yakin nanti aku pasti menang,” ujarku disertai tawa.
“Oyah? Awas kalau kalah lagi.” jawabnya dengan raut wajah yang meyakinkan ucapanku.
Tiba-tiba dia berjongkok di depanku dan mendekatkan punggungnya padaku.
“Mau apa?”
“Ayo sini biar aku gendong, kamu pasti cape kan?”
Tanpa menunggu lama, aku langsung menerima tawarannya untuk menggendongkan. Tak terasa sudah sampai di depan rumahku.
“Makasih ya sayang, buat hari ini,” ucapku sambil turun dari gendongannya.
“Iya sayang, ayo silahkan tuan putri untuk segera masuk dan bersih-bersih,” jawabnya disertai tawa kecilnya.
“Iya baik pangeranku,” Jawabku disertai tertawa manis.
“Ayo masuk,”
“Kamu dulu aja pulang baru aku masuk,”
“Kamu dulu masuk, baru aku pulang,”
“Kita barengan aja deh,” saranku padanya.
“Ya udah,”
Kami pun berjalan berlawanan arah, dan sesampainya aku di depan pintu aku berteriak memanggilnya.
“Rangga,”
Lalu dia menengok ke belakang.
“I love you,”
“I love you too sayang.” jawabnya.
Aku pun masuk ke dalam rumah, dan disambut oleh saudara tercantikku.
“Gimana harinya Rat? Menyenangkan?”
“Sangat-sangat menyenangkan Mi,” jawabku sambil melepaskan sepatuku.
“Bagus deh, pergi bersih-bersih setelah itu kita makan, aku udah nyaiapkan makan malam.
“Serius? Makasih banyak saudara tercantikku, maaf ya aku gak bantuin,”
“Iya gak apa-apa, cepet bersih-bersih, bau keringat tuh.” jawabnya dengan nada mengejek, sekaligus mendorongku secara perlahan ke pintu kamar mandi.
—
Sang rembulan pun menyambutku dengan sinarnya yang begitu indah, aku memandangi handphone yang tergeletak di tempat tidur, namun tak ada satu pesan pun yang ku terima. Aku mulai heran mengapa Rangga belum mengabari aku lagi, biasanya dia jam segini sudah selesai kantor. Aku pun mencoba meneleponnya, namun tak dia angkat, aku pun semakin panik. Lalu ku coba untuk menanyakannya pada teman-teman di kantornya, dan aku pun menanyakan pada Roy, karena dia teman dekatnya Rangga di kantor dan mereka sudah seperti adik kakak. Aku pun bergegas menelepon Roy.
“Roy,”
“Iya Rat?”
“Kalau Rangga udah pulang kantor belum?”
“Rang, Ranggga u-u-udah “Jawab Roy dengan suara terbata-batah.
“Roy apa yang terjadi sama Rangga?” jawabku dengan rasa cemas.
“Rang, Rangga udah tiada Rat,”
Tiba-tiba tubuhku pun melemas, aku tak mampu berkata apa-apa, handphoneku pun terhempas ke kasurku, air mataku menetes, dan hatiku terasa begitu hancur.
“Tiba-tiba Ismi masuk ke kamarku.
“Rat kamu kenapa?” tanya Ismi dengan rasa panik. “Rat, hey Rat kamu kenapa?” sambil mengangkat daguku.
“Rangga,”
Lalu Ismi mengambil hanpdhoneku yang tergeletak di kasurku dan masih terhubung dengan Roy.
“Rat?” panggil Roy beberapa kali dengan nada cemas.
“Roy, apa yang terjadi?” tanya Ismi meneruskan teleponku yang masih tersambung dengan Roy.
“Rangga udah tiada Mi,”
“Apa kamu bercanda kan Roy?”
“Enggak Mi aku serius, sebaiknya kamu dan Ratih cepet ke rumah sakit sehat abadi,”
Tiba-tiba Ismi memakaikan jaket padaku dan menuntunku untuk masuk ke dalam mobil.
Ismi, “Ratih terlihat begitu terpukul, dari awal kita pergi sampai sekarang kepalanya terus tertunduk disertai berlinangnya air mata. Aku sesekali memutar channel radio untuk mencari sebuah lagu slow yang bisa membuatnya tenang,” Sesampai di rumah sakit, aku dan Ismi langsung dituntun Roy menuju ruangan Rangga. Roy membukakan pintu ruangan, dan aku melihat seseorang yang berbaring dengan damai di atas ranjang yang tertutupi kain putih, ku buka kain putih yang menutupi wajahnya dengan perlahan. Aku tak kuat lagi menahan semuanya saat melihat wajah Rangga yang terbaring dengan pucatnya, aku berteriak begitu keras dengan berusaha membangunkan Rangga yang sudah tertidur dengan damai. Tak lama Roy menyusuli kami ke dalam ruangan, dan Roy langsung memberikan surat yang digenggamnyaa sejak tadi di lobby.
“Rat ini amanat dari Rangga yang sudah lama dititipkan padaku,” ucap Roy sambil memberikan secarik surat tersebut ke tanganku. Aku membuka surat tersebut dengan berlinangnya air mata yang tak dapat terhenti aku menyandarkan punggungku saat membaca surat itu.
“Dear, Ratih. Jika kamu membaca surat ini pasti aku sudah tiada dan kita sudah berbeda dunia. Terima kasih telah menemani sisa hidupku selama ini sayang, maaf aku tidak memberitahumu tentang penyakitku yang selama ini aku derita, karena aku tak ingin, jika kamu sampai memikirkan tentang penyakitku ini. Aku begitu senang karena aku sudah bisa menghabiskan sisa hidupku bersama seorang wanita yang ku sayang. Kamu adalah wanita yang paling aku sayang di dunia ini dan yang sangat berarti untukku, kamu penyemangat hidupku selama ini. Awalnya aku telah putus asa dengan keadaanku, karena sudah tidak mungkin untuk mendapatkan kebahagiaan. Namun ketika aku bertemu denganmu hidup ku menjadi lebih berarti.”
“Dan aku menjadi lebih kuat untuk menjalani hidup ini, dan aku merasa menjadi seorang pria yang sangat beruntung, karena aku bisa mendapatkan wanita sesempurna dirimu. Kau adalah bidadariku di dunia, dan aku berharap engkau dapat menjadi bidadariku lagi di alam yang akan datang nanti untukmu. Terima kasih karena telah dapat membuatku tertawa, dan aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang tak terbayangkan olehku. Terima kasih telah mewarnai sisa hidupku menjadi lebih indah, andai saja aku mempunyai waktu hidup lebih lama lagi kita pasti akan terus bersama. Aku tidak akan lupa terhadap semua yang pernah kita lalui bersama, dan tak akan pernah lupa akan dirimu sayang. I love you Ratih. Rangga.”
Semakin lama tubuhku terasa semakin lemas, tubuhku terus menyusut hingga ke bawah. Tak lama surat yang ku genggam dengan erat terhempas ke lantai, dan tiba-tiba tubuhku terhempas ke lantai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar